Santo Yudas di Hati Umat: Doa Populer dan Makna Spiritual Katolik
Kamu pernah melihat altar kecil penuh lilin kuning di sudut gereja kampung? Di situ biasanya ada gambar pria berjanggut, kadang memegang medali atau gambar Yesus di dadanya — itulah Santo Yudas (Yudas Tadeus). Bukan Yudas Iskariot yang pengkhianat itu, ya. Santo Yudas adalah sosok yang sering dicari umat ketika segala cara sudah dicoba, ketika harapan terasa tipis. Saya ingat pertama kali ikut novena, suasananya hangat, ada kopi poci dan bunyi tawa kecil anak-anak. Rasanya seperti berkumpul dengan keluarga besar yang berbagi beban doa.
Siapa Santo Yudas—bukan pengkhianat, ya
Sederhana saja: Yudas Tadeus adalah salah satu dari dua belas rasul. Dalam tradisi Gereja Katolik ia dikenal sebagai pelindung mereka yang berada dalam keadaan putus asa atau menghadapi masalah yang tampak tak teratasi. Ada juga yang bilang ia sepupu Kristus, ada juga yang mengaitkannya dengan surat singkat di Perjanjian Baru, Surat Yudas. Gambarnya sering kali berapi—simbol Roh Kudus—atau memegang gambar Kristus sebagai tanda pengabdian dan kesaksian. Kontrasnya dengan nama ‘Yudas’ yang sering disalahpahami, devosi kepada Santo Yudas membawa nuansa pengharapan dan keteguhan.
Doa populer: Novena, Rosario, dan harapan yang dilantunkan
Doa Santo Yudas yang paling populer di kalangan umat Katolik adalah novena — sembilan hari doa yang khusyuk. Banyak orang membawa tulisan kecil berisi permohonan, lalu menaruhnya di depan patung. Ada juga yang memilih doa pagi dan malam, membacakan Rosario sambil meminta perantaraan. Jika kamu cari referensi bacaan atau latar sejarah devosi, situs-situs komunitas seperti judastadeosanto kadang memuat panduan novena dan cerita-cerita mukjizat yang menguatkan iman.
Di kota besar, novena sering diadakan setiap hari tertentu di gereja paroki; di desa, bentuknya bisa lebih intim — tetangga berkumpul membawa nasi bungkus, ibu-ibu berjilbab rapi, dan anak-anak yang terlalu lincah untuk berdiam. Selesai doa, ada persembahan sederhana: kue bolu, kopi, atau kadang lauk yang dibagi. Ritual ini bukan sekadar meminta; ia menjadi ruang solidaritas. Orang datang dengan beban masing-masing, tetapi pulang merasa sedikit lebih ringan.
Cerita kampung: Lilin, kertas doa, dan kopi tangan ibu
Saya masih ingat satu malam novena di gereja kecil di Jawa Tengah. Seorang ibu tua menyerahkan selembar kertas pada romo—isi doa singkat tentang anaknya yang sakit. Ia memegang lilin, matanya berkaca-kaca, tapi suaranya tegas ketika mengucap syukur. Setelah doa, kami makan bersama di serambi gereja. Ada hal sederhana seperti itu yang selalu membuat saya percaya: devosi kepada Santo Yudas menumbuhkan komunitas yang saling menopang.
Kadang, orang menyindir: “Doa Santo Yudas seperti tiket instan.” Saya kira itu pandangan yang terlalu sempit. Dari pengalaman, devosi ini lebih soal ketekunan dan kepercayaan yang nyata. Ketika seseorang ikut novena, ia tidak hanya berharap mukjizat—ia melatih hatinya untuk terus percaya setiap hari, melatih ketabahan, dan menerima bahwa jawaban Tuhan bisa datang dalam beragam wujud, bukan selalu seperti yang kita bayangkan.
Makna spiritual: Lebih dari sekadar ‘permohonan’
Secara spiritual, hubungan umat dengan Santo Yudas mengajarkan dua hal penting: kerendahan hati dan keberlanjutan doa. Kerendahan karena kita mengakui keterbatasan; keberlanjutan karena doa yang sungguh-sungguh adalah sebuah latihan. Di Indonesia, budaya doa kolektif—novena di kapel, misa khusus, bahkan nyanyian doa di halaman gereja—merupakan ekspresi iman yang hidup. Saya suka melihat bagaimana tradisi lokal menyatu: wewangian dupa dari Flores, tumpeng kecil di Jawa, nyanyian dalam bahasa daerah—semuanya menjadi cara merawat iman yang personal sekaligus komunal.
Feast day Santo Yudas jatuh pada 28 Oktober, dan di beberapa paroki di Indonesia hari itu selalu dirayakan sederhana namun hangat. Bagi banyak orang, Santo Yudas bukan sekadar figur suci, melainkan teman doa yang mendampingi dalam keadaan paling lemah sekalipun. Dan itu, menurut saya, yang membuat devosi ini abadi.
Jadi, kalau kamu pernah merasa kewalahan dan mendengar seseorang menyarankan berdoa kepada Santo Yudas, mungkin itu bukan sekadar saran ritual. Itu undangan untuk memercayakan beban, untuk bergabung dengan komunitas yang ikut mendoakan. Doa memang tidak menjamin semua berubah sesuai rencana, tapi ia memberi ruang bagi harapan yang tak lekang—dan bagi banyak umat di Indonesia, ruang itu amat berharga.